Senin, 13 Agustus 2007

KEMERDEKAAN di ATAS PELANGI rindu....

Kemerdekaan merupakan hak hakiki dari setiap individu / warga negara, setiap kelompok, setiap masyarakat, setiap bangsa. Tapi apakah kemerdekaan itu sudah menjadi milik setiap orang di negeri ini? Kemerdekaan merupakan impian setiap individu atau kelompok atau bangsa, akan tetapi kemerdekaan juga bisa menjadi tirani bagi individu atau kelompok atau bangsa yang lain. Coba kita merefleksikan beberapa hal yang terjadi di Republik (read; Indonesia) yang kita anggap telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 ini.
1. Kemerdekaan dalam mengungkapkan pendapat; Banyak contoh, ketika seseorang mengungkapkan pendapatnya, ambil saja contohnya ketika para demonstran kita di jalanan yang berjuang dengan nota bene demi kepentingan seluruh masyarakat; Apakah kata-kata yang para demonstran ucapkan itu sudah menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan yang diperjuangkan? Jangan sampai kita berdemonstrasi untuk memperjuangkan kemerdekaan dalam hal tertentu, namun kita ikut melanggar kemerdekaan orang lain. Hal itu bisa tercermin dalam ucapan kata-kata yang tidak sepantasnya, atau kita malah berkelahi dengan aparat keamanan yang tugasnya mengamankan? Atau kita memaksakan suatu opini yang sesungguhnya berakibat mengurangi kemerdekaan orang lain.
2. Kemerdekaan berserikat; Dewasa ini banyak sekali organisasi massa yang berdiri dan mengatasnamakan perjuangan demi kepentingan orang banyak. Tapi apakah dibenarkan kalau kita mendirikan organisasi yang hanya bertujuan sebagai bamper kepentingan golongan tertentu dab bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan? Mungkinkah bangsa ini mencoba untuk saling memahami satu sama lain, dan tidak mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam banyak hal? Mungkinkah semua perjuangan itu diorientasikan pada kepentingan seluruh warga masyarakat, bukan juga hanya membeli kepentingan yang membiayai atau membayar?
3. Kemerdekaan dalam hal "Hak hidup layak." Mungkinkah bangsa kita ini memiliki keinginan yang kuat untuk memperjuangkan nasib kaum terpinggirkan dalam kehidupan ini? Contohnya; Masyarakat miskin, pengemis jalanan (bukan pengemis berdasi atau berkedok kelompok tertentu yang kadang beringas dal menjalankan aksinya), para penghuni kolong jembatan dan pinggiran sungai, tunas netra, pedagang asongan dan kaki lima, pengamen jalanan dan bis kota (bukan pengamen ala eks napi yang sering beroperasi di angkutan umum), dan masih banyak lagi.
4. Kemerdekaan dalam dunia pendidikan. Mungkinkah bangsa kita mau dan berkeinginan kuat untuk membangun kualitas pendidikan di pinggiran ibu kota dan daerah-daerah terpencil. Jangan sampai bangsa ini hanya berkualitas dalam tataran tertentu. Sementara warga negara yang berada di luar jangkauan pusat, masih merana dan rentan dengan kebodohan.
5. Kemerdekaan untuk menjalankan ibadah. Sampai kapankah bangsa ini membiarkan konflik horisontal masalah kebebasan beribadah? Sampai kapankah seluruh anak bangsa menyadari bahwa heterogenitas dalam keyakinan dan kepercayaan menjadi rahmat ilahi yang menjadikan bangsa ini menjadi semakin kaya secara rohaniah? Mampukah kita sebagai generasi muda menjauhkan perbedaan-perbedaan yang ada dan maju bersama bahu membahu sebagai bangsa yang memiliki ibu pertiwi yang sama membangun bangsa ini menjadi bangsa yang damai, aman, adil dan sejahtera? Semua itu kembali pada kesadaran akan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kulit boleh berbeda, tapi darah kita tetap sama. Dengan demikian kemerdekaan yang menjadi impian kita semua tidak lagi berada di PELANGI RINDU namun bisa terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air kita, yaitu INDOENSIA.
Untuk itu dalam rangka menyongsong HUT RI yang akan kita rayakan, marilah kita membangun kita semangat kebersamaan dalam keragaman demi ibu pertiwi yang telah membesarkan kita semuanya sebagai anak bangsa Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia 17 AGUSTUS 2007. MAJU TERUS MEMBANGUN BANGSA YANG PLURALITAS DEMI TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR DAN SEJAHTERA. AMIN.

Jumat, 10 Agustus 2007

KETIKA ANJING, PRIBUMI diLARANG MASUK


Verboden Toegang voor Honden en Inlander. Kalimat yang berarti ''anjing dan pribumi dilarang masuk'' itu dulu terpampang di kolam renang-kolam renang di zaman penjajahan Belanda. Dulu, kita pernah disamakan dengan anjing. Amboi, rendah betul martabat bangsa ini. Disamakan dengan anjing, bukan semata-mata karena kita bangsa jajahan. Bukan pula karena kita berperang dengan panah dan keris melawan Belanda yang mengokang bedil. Melainkan karena dulu kita dianggap bodoh dan terbelakang oleh bangsa Belanda.

Alhasil, bukan hanya wilayah kita yang dijajah dan kekayaan alam diperas, tapi kepribadian pun ikut terjajah. Pada kondisi demikian, rakyat Indonesia tak ubahnya barang perkakas yang menjadi hiasan kekuasaan penjajah. Memasuki kemerdekaan Indonesia yang ke-62 ini, peringatan tulisan itu sudah tidak ada lagi di bumi Nusantara ini. Namun pesan dan roh dari tulisan itu masih terasa adanya. Hal itu akan tetap terjadi bila bangsa ini terbelakang, bodoh, jumud, dan korup.

Elite politik kita terbelakang bukan karena mereka tidak berpendidikan tinggi. Tapi karena hilangnya jiwa nasionalis dan patriotis dari dada mereka. Bahkan, di salah satu televisi swasta, ada seorang pejabat yang berucap: ''Bangsa ini terlalu kaya untuk bisa bangkrut.'' TAI KUCING pikir Ku!!!!

Gerakan pemuda


Verboden Toegang voor Honden en Inlander. Kalimat diskriminatif itu mengusik keadilan para pemuda ketika itu. Dalam usia sangat muda mereka mengepalkan tinju melawan ketidakadilan.

Antara lain Ki Hajar Dewantara, yang pada usia 19 tahun, aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Tulisan-tulisannya menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya hidup bernegara. Dr Cipto Mangunkusumo masih berusia 26 tahun saat mendirikan Indische Partij, setelah sebelumnya intens mengkritik pemerintah Belanda di media. Jenderal Soedirman masih berusia 29 tahun saat dilantik menjadi jenderal hingga ia meninggal di usia 34 tahun. H Agus Salim masih berusia 31 tahun saat bergabung dengan Sarikat Islam, hingga kemudian menjadi pimpinan kedua setelah Cokroaminoto. Ada pula WR Supratman yang masih berusia 21 tahun saat mencipta lagu Indonesia Raya.

Banyak lagi nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Penjajahan telah mendidik mata batin mereka. Bila perang adalah pendidikan, bila penjajahan adalah pelajaran, maka jadilah ia bara api yang banyak menghasilkan mutiara. Tampaknya, sekarang kita tidak akan menemukan lagi pemuda-pemuda seperti itu. Pemuda-pemuda yang hati nuraninya sering gelisah itu sulit kita temukan di kampus-kampus. Juga sulit kita bedakan di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa sekarang, yang sebagian --katanya-- sudah tidak murni lagi.

Kini nasionalisme dan patriotisme yang gagah itu hanya akan terlihat lihat di upacara kenaikan bendera. Sekarang, nasionalisme seakan hanya ilusi, seperti setetes embun pagi di atas daun di depan teras rumah Anda. Bahkan, mungkin sekarang sudah terlambat untuk bicara nasionalisme. Matahari pagi sudah terbit. Zaman globalisasi sudah datang, seiring dengan masuknya terpaan budaya dari barat yang kencang. Bukan main kencangnya terpaan budaya itu. Musik rock 'n roll, mode fashion, film-film Hollywood, dan budaya MTV sudah memenuhi rongga kepala anak-anak muda ini.

Bukannya anti Barat atau konservatif. Tapi celakanya, terpaan budaya itu membuat pemuda kita lebih Amerika daripada orang Amerika sendiri. Mendengarkan musik sambil bergaya trendi, serasa sudah berada di New York. Padahal belum tentu pernah keluar negeri. Andai saja mereka tahu sejarah, tentulah timbul kegelisahan di dada mereka.

Wajah asli Indonesia tidak akan Anda dapatkan di apartemen mewah kawasan Kuningan dan Sudirman di Jakarta itu. Atau hotel-hotel mewah, diskotik dan mal yang sering menjadi tempat persinggahan kaum berpunya. Indonesia adalah Aceh dan Nias yang baru terkena tsunami, Ambon yang baru perang saudara, dan Papua yang tertinggal pembangunannya. Bersamaan dengan itu, ada golongan pemuda yang tak berpunya. Yang karena depresi dan lemahnya pemikiran kerap kali dilindas roda zaman. Yang karena lemahnya, pendirian mereka gampang dihasut ideologi sayap kiri, dan berbagai macam pemikiran sesat; ajaran agama sesat, penyimpangan dan rebelionisme. Mereka apatis terhadap kepemimpinan. Disebabkan mereka sering menjadi objek dalam pemilu atau agenda setiap pergantian kekuasaan.

Rabu, 08 Agustus 2007

kitavsmereka

HaLLo kawan - kawan semua saatnya kita melawan mereka yang selalu menyeragami dunia kita dan menginjak-injak habis mimpi kita....!!!!