
Verboden Toegang voor Honden en Inlander. Kalimat yang berarti ''anjing dan pribumi dilarang masuk'' itu dulu terpampang di kolam renang-kolam renang di zaman penjajahan Belanda. Dulu, kita pernah disamakan dengan anjing. Amboi, rendah betul martabat bangsa ini. Disamakan dengan anjing, bukan semata-mata karena kita bangsa jajahan. Bukan pula karena kita berperang dengan panah dan keris melawan Belanda yang mengokang bedil. Melainkan karena dulu kita dianggap bodoh dan terbelakang oleh bangsa Belanda.
Alhasil, bukan hanya wilayah kita yang dijajah dan kekayaan alam diperas, tapi kepribadian pun ikut terjajah. Pada kondisi demikian, rakyat Indonesia tak ubahnya barang perkakas yang menjadi hiasan kekuasaan penjajah. Memasuki kemerdekaan Indonesia yang ke-62 ini, peringatan tulisan itu sudah tidak ada lagi di bumi Nusantara ini. Namun pesan dan roh dari tulisan itu masih terasa adanya. Hal itu akan tetap terjadi bila bangsa ini terbelakang, bodoh, jumud, dan korup.
Elite politik kita terbelakang bukan karena mereka tidak berpendidikan tinggi. Tapi karena hilangnya jiwa nasionalis dan patriotis dari dada mereka. Bahkan, di salah satu televisi swasta, ada seorang pejabat yang berucap: ''Bangsa ini terlalu kaya untuk bisa bangkrut.'' TAI KUCING pikir Ku!!!!
Gerakan pemuda
Verboden Toegang voor Honden en Inlander. Kalimat diskriminatif itu mengusik keadilan para pemuda ketika itu. Dalam usia sangat muda mereka mengepalkan tinju melawan ketidakadilan.
Antara lain Ki Hajar Dewantara, yang pada usia 19 tahun, aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Tulisan-tulisannya menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya hidup bernegara. Dr Cipto Mangunkusumo masih berusia 26 tahun saat mendirikan Indische Partij, setelah sebelumnya intens mengkritik pemerintah Belanda di media. Jenderal Soedirman masih berusia 29 tahun saat dilantik menjadi jenderal hingga ia meninggal di usia 34 tahun. H Agus Salim masih berusia 31 tahun saat bergabung dengan Sarikat Islam, hingga kemudian menjadi pimpinan kedua setelah Cokroaminoto. Ada pula WR Supratman yang masih berusia 21 tahun saat mencipta lagu Indonesia Raya.
Banyak lagi nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Penjajahan telah mendidik mata batin mereka. Bila perang adalah pendidikan, bila penjajahan adalah pelajaran, maka jadilah ia bara api yang banyak menghasilkan mutiara. Tampaknya, sekarang kita tidak akan menemukan lagi pemuda-pemuda seperti itu. Pemuda-pemuda yang hati nuraninya sering gelisah itu sulit kita temukan di kampus-kampus. Juga sulit kita bedakan di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa sekarang, yang sebagian --katanya-- sudah tidak murni lagi.
Kini nasionalisme dan patriotisme yang gagah itu hanya akan terlihat lihat di upacara kenaikan bendera. Sekarang, nasionalisme seakan hanya ilusi, seperti setetes embun pagi di atas daun di depan teras rumah Anda. Bahkan, mungkin sekarang sudah terlambat untuk bicara nasionalisme. Matahari pagi sudah terbit. Zaman globalisasi sudah datang, seiring dengan masuknya terpaan budaya dari barat yang kencang. Bukan main kencangnya terpaan budaya itu. Musik rock 'n roll, mode fashion, film-film Hollywood, dan budaya MTV sudah memenuhi rongga kepala anak-anak muda ini.
Bukannya anti Barat atau konservatif. Tapi celakanya, terpaan budaya itu membuat pemuda kita lebih Amerika daripada orang Amerika sendiri. Mendengarkan musik sambil bergaya trendi, serasa sudah berada di New York. Padahal belum tentu pernah keluar negeri. Andai saja mereka tahu sejarah, tentulah timbul kegelisahan di dada mereka.
Wajah asli Indonesia tidak akan Anda dapatkan di apartemen mewah kawasan Kuningan dan Sudirman di Jakarta itu. Atau hotel-hotel mewah, diskotik dan mal yang sering menjadi tempat persinggahan kaum berpunya. Indonesia adalah Aceh dan Nias yang baru terkena tsunami, Ambon yang baru perang saudara, dan Papua yang tertinggal pembangunannya. Bersamaan dengan itu, ada golongan pemuda yang tak berpunya. Yang karena depresi dan lemahnya pemikiran kerap kali dilindas roda zaman. Yang karena lemahnya, pendirian mereka gampang dihasut ideologi sayap kiri, dan berbagai macam pemikiran sesat; ajaran agama sesat, penyimpangan dan rebelionisme. Mereka apatis terhadap kepemimpinan. Disebabkan mereka sering menjadi objek dalam pemilu atau agenda setiap pergantian kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar